Menurut ibuku aku ini mirip Papa, orangnya gampang percayaan
sama orang makanya kerap kena tipu. Makanya, Ibuku selalu mengingatkan dan
bertanya detail kalau berkaitan dengan "kepercayaan"
pasalnya papa pun dalam pekerjaan sudah beberapa kali dibohongi rekanannya.
Akhirnya, ibuku bilang "curiga
itu harus" kalau sama orang yang ga kita kenal dan satu lagi banyakin sedekah sama orang yang lebih membutuhkan bukan penipu!
Xixixixi. Menohok
banget itu.
Akhirnya sekarang aku belajar agak cuek, mungkin orang kasih
kesan sombong. Duh, jaman sekarang kita memang harus ada filter ga bisa gitu
saja percaya sama orang, ya kan?
Pernah, ada satu kasus juga di sebuah group WAG seorang teman
share link "kalian udah tahu berita
ini, gak?" Belum kami baca dia udah share screen shot bagian artikel
yang isinya kontroversial. Mulailah kawan-kawan yang semua intelektual di
bidang masing-masing itu berkomentar. Pokoknya memberikan komentar sesuai sudut
pandang mereka masing-masing.
Si kawan yang share link tidak ikut komentar, namun saat kondisi
cukup panas dia melempar komentar
"kalian begini, ya? Ga baca dulu berita semua langsung komen
bersahutan" dengan emoticon ketawa, merasa berhasil ngerjain kami. "Lha, kami kan percaya sama kamu!"
Jawab salah satu kawan. Si kawan pelempar link langsung jawab lagi "itulah salah kita, gampang percaya dan
apa-apa itu ga lakukan cross check makanya hoax di negara kita gampang sekali
meraja lela" Kami merasa kena banget itu.
Yes, bener banget. Selama ini kita gampang percaya dengan berita-berita
yang sebenarnya menjadi permainan media tanpa difilter dan dicari kebenarannya
langsung share dan beropini seolah kita ini paling benar dan paling baik.
Aku selalu bilang kalau media berperan besar saat ini terhadap
kericuhan yang terjadi di sebuah negara atau wilayah. Mereka memberitakan
hal-hal yang kiranya mengundang kontroversi dan viral bukan hal baik-baik yang
memberikan positive vibe terhadal lingkungan. Ya, walau tetap ada juga media
yang share hal-hal baik dan memberikan
positive vibe.
Kawan-kawan blogger yang influence-nya kenceng pun, beberapa
kali kulihat posting-posting hal yang demikian. Kalau benar okay-lah kalau ga
benar itu. Tidakkah menjadi beban moral? Walaupun tetap kita memang bebas
menulis apapun di dalam status atau tulisan kita, namun ada baiknya kita saring
lagi apa manfaatnya buat kita, kemaslahatan bersama? Dan adakah dampak dari apa
yang kita share membawah ke dalam perubahan lebih baik? Tentu pun aku ga
menyinggung siapapun. Karena beberapa teman dengan label “Buzzer” ya mau gak mau melakukan pekerjaannya dan itu pekerjaannya.
Filter segala bentuk informasi yang masuk baru share dan
beropini. Karena berita yang belum tentu benar itu bukan hanya potensi Hoax
tapi juga bullying, lho. Ada pengalaman tentang “gampang percaya” ini di dalam
kehidupan kalian? Yuk, share!
Simak data tentang besarnya hoax yang dicuplik dari DailySocial.id ini sebagai referensi bagaimana perilaku masyarakat kita terhadap penerimaan berita.
Kalau saya intinya malu kalau ketahuan nulis salah, jadinya sebelum share atau nulis atau komen, selalu cari tahu lebih mendalam.
ReplyDeleteBiar menghindari malu kayak gitu :)
Pasti, Mbak.
DeleteTapi, di sini bukan tentang menulis hal yang salah melainkan share apa yang belum jelas kebenarannya. Masyarakat kita punya kebiasaan share-share hoax. Bahkan di group WA keluarga besar saya para tetua ini dengan enteng bagi-bagi hoax, kalau dibenarkan suka marah padahal sudah pakai data valid.